Monday, 28 October 2013

Jabir bin Abdillah al-Anshari Radhiallahu 'anhuma

Kisah sahabat Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiallahu ‘anhuma
Jabir bin ‘Abdillah telah meriwayatkan seribu lima ratus empat puluh hadits bagi kaum muslimin dari nabi mereka.
Rasa rindu dan sayang mendorong sebuah kafilah untuk mempercepat langkah kaki mereka dari kota Yatsrib menuju Mekah …
Ia telah memiliki sebuah janji untuk bertemu dengan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Setiap orang dari kafilah tersebut telah memendam kerinduan dengan kesempatan tersebut. Sebuah kesempatan yang ia bisa bertemu dengan Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam.
Sebuah kesempatan sehingga ia bias meletakkan tangannya di atas tangan beliau demi berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat.

Sebuah waktu untuk mengucapkan janji akan senantiasa menolong dan membantu.
Di antara kafilah tersebut terdapat seorang syaikh tua dari wajah-wajah kaum itu. Syaikh tua tersebut diikuti oleh seorang putra satu-satunya yang masih kecil. Sementara itu ia meninggalkan Sembilan putrinya berada di kota Yatsrib. Sebab, ia tidak memiliki anak laki-laki selain dirinya.
Syaikh tua tersebut sangat bersemangat agar sang anak bisa mengikuti baiat.
Ia sangat ingin aagar sang putra tidak terlewatkan dari hari yang begitu agung itu.
Syaikh tua tersebut adalah ‘Abdillah bin ‘Amr al-Khazraji al-Anshari.
Sedangkan sang anak adalah Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari.
***
Bersinarlah keimanan di dalam sanubari Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari dalam usianya yang masih sangat  muda. Cahaya keimanan itu menerangi setiap sisi dan sudut dari seluruh tubuhnya.
Islam telah menyentuh hati mungilnya sebagaimana embun-embun menyentuh tangkai-tangkai bunga mawar. Embun itu lalu membuat sang bunga merekah. Memenuhinya dengan wangi dan aroma semerbak … Akhrinya, sejak kuku-kukunya mulai tumbuh (usia anak-anak) hubungan dan kecintaan Jabir bin ‘Abdillah kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam semakin kuat.
***
Ketika Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam datang ke kota Madinah dalam rangka berhijrah, anak kecil itu berguru langsung di hadapan nabi pembawa petunjuk dan rahmat. Jabir menjadi salah seorang alumni terbaik lagi termulia yang diluluskan oleh madrasah Muhammadiyah sebagai pengemban dan penghafal Kitabullah untuk segenap umat manusia.
Lulus sebagai sosok yang memahami agama Allah.
Jebolan madrasah Muhammadiyah itu tampil sebagai pembawa riwayat hadits Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.
Cukup bagi anda sebagai keutamaan Jabir bila anda mengetahui bahwa Musnad Jabir bin ‘Abdillah di antara dua sampulnya memuat seribu lima ratus empat puluh hadits.
Murid cerdik dan pandai ini menghafalkan semuanya. Lalu meriwayatkannya untuk kaum muslimin dari Nabi mereka yang agung shallalahu ‘alaihi wasallam.
Begitu pula cukup bagi anda untuk mengetahui bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim menyebutkan sekitar dua ratus hadits dari hadits-hadits Jabir dalam kedua kitab Shahihnya.
Bahkan Jabir tampil sebagai sosok yang senantiasa menjadi sumber pancaran dan hidayah serta petunjuk kaum muslimin sepanjang zaman dan sepanjang masa. Sungguh Allah telah memanjangkan usianya hingga mendekati satu abad (seratus tahun).
Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari tidak mengikuti perang Badr maupun perang Uhud bersama Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam … Pasalnya, di satu sisi karena ia masih sangat kecil … Dan di sisi lain karena sang ayah memerintahkannya untuk tinggal menemani sembilan orang saudarinya, sebab tidak ada seorang lelaki pun yang bisa membantu berbagai urusan para wanita itu.
Jabir mengisahkan :
Pada malam hari sebelum terjadi perang Uhud, ayah memanggilku. Kata ayahku,
“Susungguhnya aku melihat bahwa aku akan menjadi orang yang gugur bersama sahabat Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam yang pertama kali terbunuh. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak meninggalkan seorang pun yang lebih aku cintai setelah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam selain dirimu.
Sesungguhnya aku memilki tanggungan hutang. Bayarlah hutang itu …
Sayangilah saudari-saudarimu. Berilah wasiat kebaikan kepada mereka.”
Maka pada keesokan harinya, ayahku merupakan orang pertama yang gugur di bumi Uhud.
Setelah memakamkannya, aku mendatangi Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam sambil berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggalkan tanggungan hutang … Sementara itu aku tidak memiliki harta sepeserpun untuk melunasinya kecuali hasil dari buah pohon kurma miliknya. Jika aku mengandalkan hasil buah tersebut untuk melunasi hutang itu, tentu aku belum bisa melunasinya dalam jangka beberapa tahun …
Demikian pula aku tidak memiliki harta untuk membiayai saudari-saudariku selain dari kebun kurma itu.”
Bangkitlah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Beliau pergi bersamaku ke gudang penyimpanan kurma milik kami.
“Panggillah orang-orang yang memiliki hutang kepada ayahmu!” perinta Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam kepadaku. Aku pun segera memanggil mereka.
Kemudian beliau tidak henti-hentinya menimbang kurma untuk membayar semua hutang ayahku sampai akhirnya Allah melunasi hutang ayahku dari hasil kurma tahun ini.
Lalu aku melihat kea rah gudang penyimpanan kurma. Ternyata ia masih seperti semula …
Seolah-olah tidak ada satu kurma pun yang berkurang darinya …
***
Setelah wafatnya sang ayah, Jabir bin ‘Abdillah tidak pernah meninggalkan satu peperanganpun bersama Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.
Di setiap peperangan pasti ada satu kejadian yang senantiasa dikisahkan dan dijaga.
Kita persilahkan Jabir untuk membawakan salah satu kisahnya bersama Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.
Di perang Khandaq, kami menggali parit. Ada sebuah batu cadas lagi keras yang menghalangi kami. Kami tidak bisa memecahkannya. Maka, kami mendatangi Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.
“Wahai Nabi Allah, sebuah batu keras dan cadas menghentikan pekerjaan kami. Cangkul-cangkul kami tidak bisa berbuat apa-apa terhadap batu itu,” kata kami melapor.
“Kalian tinggalkan saja batu itu. Aku sendiri yang akan turun,” kata Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian beliau berdiri sedangkan perutnya diganjal batu karena rasa lapar yang sangat menusuk. Wajar saja, selama tiga hari ini kami tidak merasakan satu makanan pun. Cangkul segera diraih oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Batu itu pun dipukul. Dan … Hancurlah batu itu berkeping-keping menjadi debu.
Saat itulah, rasa lapar yang menimpa Rasulullah semakin dahsyat saja. Aku menuju kepada beliau sambil berkata, “Apakah anda mengizinkan aku untuk pulang ke rumah, wahai Rasulullah?”
“Pulanglah,” kata beliau singkat.
Begitu sampai rumah, aku berkata kepada istriku,
“Sungguh, aku telah melihat rasa pahit yang menimpa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam akibat rasa lapar yang seorang pun tidak akan bisa bertahan an bersabar darinya. Apakah kamu memiliki sesuatu?”
“Aku hanya memiliki sedikit gandum dan anak kambing kecil,” jawab istriku.
Aku segera mendatangi anak kambing itu. Kemudian aku menyembelih dan memotongnya. Daging anak kambing itu aku masukkan ke dalam periuk. Biji gandum segera kusahut dan kutumbuk halus lalu kuberikan kepada istriku. Ia segera membuat adonan dan mengepal-ngepalnya. Ketika aku mendapati daging kambing itu hamper matang …
Adonan gandum telah halus dan lembek dan hampir meragi …
Aku segera kembali mendatangi Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Aku katakana kepada beliau,
“Ada sedikit makanan yang kami masak buat anda, wahai Nabi Allah! Silahkan anda datang ke rumah kami dengan seorang atau dua orang.”
“Berapa banyak makanan itu?” Tanya beliau.
Aku pun menyebutkannya kepada beliau … Setelah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam mengetahui jumlah makanan itu, beliau segera berkata,
“Wahai para penggali parit, sesungguhnya Jabir telah memasakkan makanan untuk kalian semua. Maka dari itu, marilah ke rumahnya.
Kemudian beliau menoleh kepadaku, “Pulanglah dan temui istrimu. Bilang padanya agar jangan menurunkan panic dan jangan membuat adonan itu menjadi roti sampai aku datang.”
Aku segera pulang ke rumah. Aku diselimuti rasa gelisah berpadu dengan rasa malu yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.
“Apakah orang-orang yang menggali parit itu akan datang kepada kami untuk menyantap satu genggam gandum dan anak kambing kecil?” kataku bergumam sendiri.
Kemudian aku menemui istriku sambil mengatakan, “Celaka, aku telah membongkar rasa maluku. Sesungguhnya Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam akan datang bersama semua orang yang menggali parit.”
“Apakah beliau menanyakan jumlah makanan kita kepadamu?” Tanya istriku.
“Iya.”
“Tenanglah. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu,” kata istriku menenangkan dan menghiburku. Ucapan istriku itu menghilangkan rasa gelisah dariku.
Tidak lama setelah itu, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam datang. Bersama beliau ada kaum Anshar dan Muhajirin.
“Masuklah kalian semua. Jangan berdesak-desakan!” perintah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam kepada mereka.
Beliau kemudian berkata kepada istriku, “Ambil pemukul untuk memukul adonanmu. Tuangkan makanannya dari pancimu dan jangan kau turunkan dari tungkunya.”
Kemudian beliau mulai membagi-bagi roti dan dicampur dengan daging. Lalu beliau menghidangkannya kepada para sahabatnya …
Mereka semua memakannya sampai kenyang.
Kemudian Jabir melanjutkan kisahnya :
Aku bersumpah atas nama Allah, sesungguhnya mereka semua kenyang dari makanan itu sementara panci kami masih penuh seperti semula …
Demikian juga dengan adonan kami masih seperti sebelumnya …
Kemudian Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam berkata kepada istriku, “Makanlah dan bagi-bagikanlah.”
Istriku pun makan dan membagi-bagikan sisanya sepanjang hari itu …
Demikianlah, Jabir tetap sebagai sosok yang senantiasa menjadi sumber pancaran dan hidayah serta petunjuk kaum muslimin sepanjang zaman dan sepanjang masa. Sungguh Allah telah memanjangkan usianya hingga mendekati umur satu abad (seratus tahun).
Pada suatu kesempatan, Jabir bin ‘Abdillah berangkat ke Negara Romawi untuk berjuang di jalan Allah.
Saat itu pasukan di bawah komando Malik bin ‘Abdillah al-Khats’ami.
Malik sedang berkeliling melakukan inspeksi pasukan untuk mengetahui keadaan mereka. Ia juga ingin member semangat kepada mereka, memberikan perhatian dan penjagaan kepada orang-orang tua yang berhak mendapatkannya.
Malik bin ‘Abdillah berpapasan dengan Jabir bin ‘Abdillah yang sedang berjalan kaki …
Ia bersama seekor bighal miliknya yang ia pegang tali kekangnya guna menuntun dan mengendalikannya.
“Ada apa denganmu, wahai Abu ‘Abdillah?” Tanya Malik.
“Kenapa engkau tidak menaiki bighalmu padahal Allah telah member kemudahan padamu untuk menaiki punggung hewan yang bisa membawamu?” tambahnya.
Jabir menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu di jalan Allah maka Allah akan mengharamkan dirinya dari neraka.”
Malik segera meninggalkan Jabir dan maju ke barisan depan pasukannya. Dengan suaranya yang begitu tinggi lagi keras, ia berkata,
“Wahai Abu ‘Abdillah, kenapa engkau tidak menaiki kendaraanmu? Padahal kendaraan itu adalah milikmu?”
Jabir mengetahui maksud Malik. Dengan suara yang keras pula, ia menjawab,
“Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu di jalan Allah maka Allah akan mengharamkan dirinya dari neraka.’”
Maka, orang-orang pun segera berloncatan dari kendaraan-kendaraan mereka …
Setiap orang ingin beruntung dengan mendapatkan pahala ini. Tidak ada pasukan yang lebih banyak pejalan kakinya selain pasukan ini.
***
Berbahagialah Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari.
Sungguh, ia telah berucap baiat kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan masih begitu kecil, belum sampai usia baligh …
Sejak usia anak-anak ia sudah berguru di hadapan beliau. Ia meriwayatkan berbagai hadits dari beliau. Para perawi hadits pun saling merantaikan hadits-hadits tersebut …
Kemudian ia berjihad dan berjuang bersama Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pada usianya yang masih belia.
Lalu di usianya yang sudah tua lagi senja ia menjadikan kedua kakinya berdebu di jalan Allah.”

0 comments:

Post a Comment